applelovestory











Pengertian pers

Istilah “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publication).

Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.

Buku Four Theories of the Press yang ditulis oleh Wilbur Schramm,dkk mengemukakan 4 teori terbesar dari pers, yaitu the authoritarian, the libertarian, the social responsibility, dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat.

Sementara McLuhan menuliskan dalam bukunya Understanding Media terbitan 1996 mengenai pers sebagai the extended of man, yaitu yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain dan peristiwa satu dengan peristiwa lain pada momen yang bersamaan.

Menurut Bapak Pers Nasional, Raden Mas Djokomono, pers adalah yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar. Pendapatnya ini yang membakar semangat para pejuang dalam memperjuangkan hak-hak Bangsa Indonesia pada masa penjajahan Belanda.

Positif:
keadaan stabiltas negara lebih kondunsif sehingga harga2 kebutuhan pokok amat terjangkau bagi kaum marjinal.
Negatif:
kebebasan pers termasuk hak berbicara mengeluarkan pendapat, opini dan kreasi dibelenggu, diatur, dan amat dibatasi oleh pemerintah.

Kebebasan pers

Hilangnya Departemen Penerangan dari peredaran dan percaturan pemerintahan Republik Indonesia ternyata telah memberi dampak yg sangat signifikan bagi dunia pers. Dampak yg paling nyata dan sangat dini’mati oleh banyak kalangan adl kebebasan. Kebebasan dgn segala definisi dan penafsirannya juga segala keuntungan dan kerugiaannya. Hal mana kebebasan ini sangat sulit didapatkan pada masa pemerintahan sebelumnya. Mengharapkannya pada masa itu ibarat mimpi dan angan-angan. Maka tidaklah heran jika banyak jatuh korban akibat mencari kebebasan yg mereka inginkan. Namun kalau kita mau jujur sebenarnya ada beberapa keuntungan dan kebaikan dalam membatasi kebebasan pers pada masa lalu.

Disamping banyak juga kerugian dan keburukannya. Kesalahannya sebenarnya terletak pada pengekangan atas kebebasan dalam hal-hal yg sebenarnya tidak perlu dikekang. Justru jika dikekang akan menimbulkan efek negatif yg merugikan. Sementara kebebasan diberikan kepada hal-hal yg seharusnya tidak diberi kebebasan. Di samping akibat buruk yg ditimbullkannya pihak yg berlawanan yg seharusnya diberi kebebasan akan bangkit memberontak dari ketidakberesan ini. Sebaliknya sekarang kebebasan pers sudah sangat melampaui batas kewajaran jika tidak ingin dibilang kurang ajar. Banyak kalangan pers yg tidak lagi menjaga kode etiknya. Mereka kebanyakan hanya ingin mengambil haknya tanpa menghiraukan hak orang lain tentu saja dgn dalih kebebasan pers. Hal ini justru merusak citra para tokoh pers yg telah memperjuangkan kebebasan pers itu sendiri. Perjuangan mereka yg ingin memberikan kebebasan kepada pihak yg berhak dan pantas diberi kebebasan itu krn memang tidak semua orang pantas diberi kebebasan yg tidak pantas untuknya. Lihatlah sekarang dunia pers kita. Mayoritas media kita baik cetak maupun elektronik tidak lagi memperhatikan hal-hal yg merupakan esensi dan prinsip serta inti kehidupan masyarakat sebagai manusia. Keuntungan yg besar sudah menjadi tujuan utama sehingga apa pun cara dan bentuknya asal bisa mendatangkan keuntungan langsung sikat saja. Kejujuran sangat kurang sedangkan fitnah dan isu murahan lbh banyak. Kemuliaan tidak lagi dilirik tapi selera rendahan pornograpi dikemas dalam berbagai bentuk demi memuaskan nafsu belaka. Tentu saja hal itu dgn dalih kebebasan pers. Provokasi kebencian dan kemarahan menjadi bumbu penyedap demi larisnya sebuah media.

Hak-hak privasi seseorang juga merupakan hal yg paling banyak dilanggar dan dilangkahi oleh kalangan pers. Hanya krn merasa sebagai orang pers apakah seseorang merasa boleh-boleh saja melanggar privasi orang lain? Mungkin bisa saja seseorang mengingkari hal ini tapi kenyataan di kehidupan nyata sehari-harilah yg menjadi bukti dan saksi nyata dari semua gambaran itu. Apalagi dampak dan akibat negatif yg banyak ditimbulkan oleh orang-orang rusak dari kalangan pers ini sangat luar biasa baik langsung maupun tidak langsung. Seseorang bisa belajar kejahatan dari bacaan atau tontonan yg disuguhkan pers. Bisa merampok membunuh menodong mencuri memperkosa mendalangi kerusuhan dan lain sebagainya dari sebuah media massa. Penyuguhan berita dgn bahasa yg justru memancing keingiinan utk melakukan hal serupa menjadi suatu kesenangan tersendiri bagi orang-orang ini. Intinya jika kalangan pers ingin memperoleh kebebasannya maka tempatkanlah kebebasan itu pada tempatnya. Serta tutup pintu kebebasan bagi hal-hal dan orang-orang yg tidak berhak dan pantas diberi kebebasan. Jangan menggiring dan membiarkan bangsa ini kebablasan dalam kebebasannya. Dalam sebuah pepatah Arab dikatakan “kebebasan seseorang itu dibatasi oleh kebebasan orang lain.” Benar sekali seseorang bebas utk berkata apapun yg disukainya tapi telinga orang lain pun punya kebebasan utk bebas dari kata-kata yg tidak disukainya. Adalah bijak jika anda ingin berkata bebas dgn membiarkan telinga orang bebas dari kata-kata yg tidak baik dari lidah anda. Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

 

TANGGUNG JAWAB SOCIAL PERS

/ Budiman S. Hartoyo

SELAMA ini banyak orang — terutama kaum awam — yang menduga, mengira atau menganggap (karena tidak tahu) bahwa pers adalah lembaga yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan masyarakat. Dalam anggapan seperti itu, seorang wartawan atau jurnalis hanyalah seorang buruh yang bekerja di perusahaan pers berdasarkan assignment atau penugasan redaksi. Tak ubahnya seorang tukang yang bekerja sekedar untuk mencari sesuap nasi – tanpa rasa tanggung jawab moral terhadap profesi dan masyarakat. Pastilah ia tidak mengerti hakikat kebebasan pers, atau bahkan mengira bahwa kebebasan pers merupakan “hak kebebasan bagi pers dan wartawan.”

Padahal, media pers (cetak, radio, televisi, online – selanjutnya disebut media atau pers) sesungguhnya merupakan kepanjangan tangan dari hak-hak sipil publik, masyarakat umum, atau dalam bahasa politik disebut rakyat. Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak). Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.

Dalam kondisi seperti itulah dibutuhkan pers yang secara bebas dapat mewakili publik untuk mengakses informasi. Dari sinilah bermula apa yang disebut “pers bebas” (free press) atau “kebebasan pers” (freedom of the press) sebagai syarat mutlak bagi sebuah negara yang demokratis dan terbuka. Begitu pentingnya freedom of the press tersebut, sehingga Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat (1743 – 1826), pada tahun 1802 menulis, “Seandainya saya diminta memutuskan antara pemerintah tanpa pers, atau pers tanpa pemerintah, maka tanpa ragu sedikit pun saya akan memilih yang kedua.” Padahal, selama memerintah ia tak jarang mendapat perlakuan buruk dari pers AS.

Mengapa kebebasan pers sangat penting dalam sebuah negara demokratis? Sebab, kebebasan pers sesungguhnya merupakan sarana bagi publik untuk menerapkan hak-hak sipil sebagai bagian dari hak asasi manusia. Salah satu hak sipil itu ialah hak untuk mengetahui (the right to know) sebagai implementasi dari dua hak yang lain, yaitu kebebasan untuk berbicara atau berpendapat (freedom to speech) dan kebebasan untuk berekspresi (freedom to expression). Dengan demikian, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers (sekali lagi: kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers), melainkan kepentingan publik. Namun, karena publik tidak mungkin mengakses informasi secara langsung, maka diperlukanlah pers sebagai “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah.”

Untuk pertama kalinya dalam sejarah pers Indonesia, kebebasan pers baru diakui secara konstitusional setelah 54 tahun Indonesia merdeka secara politik, yaitu dalam UU Nomor 40/1999 tentang Pers. Meskipun demikian, pengertian kebebasan pers belum dimengerti secara merata oleh publik Indonesia. Bahkan para pejabat dan kalangan pers sendiri pun – yang mestinya lebih mengerti – masih ada yang kurang faham mengenai makna dan pengertrian kebebasan pers yang sesungguhnya. Oleh karena mengemban tugas luhur dan mulia itulah, pers yang bebas juga harus memiliki tanggung jawab – yang dirumuskan dalam naskah Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia sebagai “bebas dan bertanggung jawab.” Belakangan, pengertian “bebas” menjadi kabur – terutama di zaman pemerintahan Presiden Soeharto — gara-gara sikap pemerintah yang sangat represif, sementara pengertian “bertanggung jawab” dimaknai sebagai “bertanggung jawab kepada pemerintah.” Padahal, yang dimaksud dengan bebas ialah bebas dalam mengakses informasi yang terbuka; sementara yang dimaksud dengan bertanggung jawab ialah bertangung jawab kepada publik, kebenaran, hukum, common sense, akal sehat.

Jika posisi pers benar-benar ideal, yaitu “bebas dan bertanggung jawab” – sebuah rumusan ala Indonesia yang menurut saya sangat tepat – maka pers dapat berposisi sebagai “anjing penjaga” (watch dog) sehingga hak-hak rakyat terlindungi, sementara pemerintah tidak menyalah-gunakan kekuasaan secara sewenang-wenang. Begitu penting dan idealnya posisi pers dalam sebuah negara yang demokratis, sehingga kedudukannya disamakan dengan the fourth estate (kekuasaan ke empat) yang dianggap sejajar dengan tiga pilar demokrasi yang lain yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Sekali lagi, kebebasan pers bukanlah semata-mata kepentingan pers itu sendiri, melainkan kepentingan publik, kepentingan rakyat banyak. Namun, oleh karena publik tidak mungkin bisa mengakses informasi secara langsung – walaupun sebenarnya boleh, karena merupakan salah satu hak sipil – maka diperlukanlah pers. Yakni pers yang bebas. Bukan bebas dalam arti kata “semaunya sendiri” melainkan mebas mengakses informasi, beban meliput, bebas menulis dan menyatakan pendapat – dengan catatan harus bertanggung jawab. Dengan demikian, pers tiada lain adalah “kepanjangan tangan” atau “penyambung lidah” atau “pembawa amanah” dari hak-hak sipil atau hak-hak demokrasi. Oleh karena mengemban tugas luhur itulah, sekali lagi, pers harus bebas tapi bertanggung jawab.

Sejak semula, jati diri dan mission pers (yang ideal) sesungguhnya ialah sebagai alat bagi kepentingan orang banyak untuk melakukan social control terhadap kekuasaan secara bebas, terbuka, jujur, bertanggung jawab, sebagai watch dog alias anjing penjaga terhadap hal-hal yang dianggap menyeleweng dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Namun, lama kelamaan (sebagian) pers menjadi alat bagi kepentingan salah satu golongan. Negara dan partai politik menjadikannya sebagai alat propaganda, konglomerat menjadikannya sebagai alat untuk melindungi mega bisnisnya, organisasi keagamaan menjadikannya sebagai alat dakwah, lembaga pendidikan menjadikannya alat untuk mendidik, kalangan intertainment menjadikannya sebagai alat untuk menghibur. Semua itu dengan segment pasar masing-masing sesuai dengan lahan garapan masing-masing pula. Meski demikian, toh msih cukup banyak pers yang “benar-benar pers” (katakanlah pers umum) yang lazim disebut sebagai pers yang independen.

Pers Indonesia lahir dari kancah pergerakan nasional untuk membebaskan rakyat dari penjajajahan. Ketika itulah pers bahu membahu dengan kaum pergerakan, bahkan mengambil peran penting dalam perjuangan politik. Pers pada periode itu disebut “pers perjuangan”. Ketika negeri ini memasuki era “demokrasi liberal” di tahun 1950-an, pers sebagai cerminan aspirasi masyarakat, tampil sebagai pers bebas. Ketika Presiden Soekarno mendekritkan “demokrasi terpimpin” (1962) pers Indonesia ikut pula terpimpin. Ketika Presiden Soeharto memperkenalkan “demokrasi pancasila” (1970) – yang hakikatnya sami mawon dengan “demokrasi terpimpin”, pers Indonesia kembali terkekang. Barulah di era reformasi (1989) pers Indonesia benar-benar bebas.

Sayang, belakangan pers sendiri kurang memahami makna “kebebasan pers” sehingga sebagian di antara ribuan penerbitan (yang sudah tak lagi memerlukan izin terbit itu!) tidak lagi berperan sebagai pers yang bertanggung jawab. Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan, pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya. Di lain pihak, publik yang menyadari akan hak-hak sipilnya mulai berani menyuarakan aspirasi mereka, termasuk memprotes, menggugat (dengan cara yang tidak semestinya – bahkan main hakim sendiri), bahkan meneror wartawan dan kantor media pers. Ini semua adalah dampak dari reformasi, ketika (sebagian) masyarakat mulai terbuka dan menyadari akan hak-hak sipilnya.

Sebagai dampak dari iklim reformasi yang “serba terbuka” itu, kebebasan pers memungkinkan lahirnya media pers yang benar-benar bebas. Apalagi untuk menerbitkan media tak lagi diperlukan izin dari pemerintah. Jumlah pers cetak saja, misalnya, mencapai ribuan. Belum lagi televisi dan radio. Kondisi seperti itu di samping menggembirakan (karena publik bebas berekspresi) dan menghidupkan suasana persaingan, di lain pihak mengkhawatirkan karena cukup banyak media pers yang tidak memenuhi standar kualitas: tidak profesional, dengan integritas yang rendah, yang dikenal sebagai yellow paper, pers kuning, yakni pers yang lebih mengutamakan sensasi.

Dalam kondisi seperti itu, wajar jika muncul media yang diterbitkan bukan untuk memperjuangkan idealisme (seperti halnya pers perjuangan atau pers di zaman liberal), melainkan semata-mata sebagai komoditi. Memang, itu tak berarti bahwa pers yang diterbitkan oleh pemodal yang cukup kuat sama sekali tidak peduli pada profesionalisme dan idealisme. Justru profesionalisme dan idealisme dapat terwujud berkat dukungan pemodal yang kuat (tapi yang mengerti akan idealisme pers). Di sini sampailah kita pada persoalan media pers dewasa ini: tanpa dukungan modal besar, media pers bakal “mati muda”. Oleh karena itu diperlukan manajemen yang baik (tidak lagi cukup hanya mengandalkan idealisme!), termasuk trik-trik dalam hal sirkulasi, marketing (pemasaran) dan advertising (periklanan).

Jika kita mengidam-idamkan sebuah pers yang ideal, bagaimanakah seharusnya jati diri seorang wartawan? Meskipun wartawan boleh dikata merupakan profesi terbuka, wartawan yang baik ialah yang memahami perannya sebagaimana telah kita singgung di bagian awal makalah ini, bahwa dia adalah kepanjangan tangan atau penyambung lidah publik. Oleh karena ia mendapat amanat publik sehingga mendapat kesempatan untuk mengakses informasi secara bebas (dalam iklim pers bebas) maka ia harus bertanggung jawab kepada publik, kepada kebenaran, keadilan, kejujuran, common sense, akal sehat. Ia harus benar-benar profesional, sedapat mungkin independen, memiliki integritas yang tinggi – dan jangan lupa: berpihak kepada mereka yang lemah.

Dalam mengakses informasi ia harus obyektif, mendalaminya dari berbagai sudut yang memungkinkan, sehingga dapat memperoleh atau menggambarkan sebuah kasus secara lengkap, akurat dan obyektif. Lepas dari apakah dia mendapat gaji besar atau kecil, wartawan yang baik seharusnya profesional, independen, memiliki integritas yang tinggi. Cuma sayang sekali, banyak perusahaan pers yang “tidak sempat” menyelenggarakan inhouse training bagi wartawan dan redakturnya. Celakanya, ada juga (sebagian) wartawan yang tak mampu menulis berita yang baik. Bahkan ada yang tak faham persyaratan berita yang klasik: 5-W (who, what, when, where, why) dan 1-H (how).

Ia juga tak canggung menulis berbagai jenis berita, mulai dari straight news, breaking news sampai feature. Dengan kata lain, skill (kemampuan, keterampilan) maupun personal quality ataupun integritasnya benar-benar mumpuni. Lebih dari itu, ia punya the nose of news (kemampuan mengendus jenis berita), mana berita yang biasa-biasa saja, dan mana berita yang layak dimuat, atau bahkan eksklusif. Ia mampu melihat dengan jeli apa yang disebut news value – sebagaimana kata Charles A. Dana (1882) lebih seabad silam, “When a dog bite a man that is not a news, but when a man bites a dog that is a news” (Jika ada seokor anjing menggigit orang hal itu bukanlah berita, tapi jika ada orang menggigit anjing hal itu baru berita). Selain itu, ia mampu pula menembus sumber berita, tidak hanya melakukan wawancara yang lazim, melainkan juga mampu melakukan investigative reporting – kemudian menyajikannya sebagai feature yang mendalam, indeph reporting, indeph feature..

Kualitas kepribadian wartawan seperti itu berbanding terbalik dengan mereka yang lazim disebut sebagai “wartawan bodreks”, “wartawan amplop,” “wartawan gadungan”, “wartawan muntaber alias muncul tanpa berita”, WTS (wartawan tanpa surat kabar). Jenis “wartawan yang tersebut belakangan itu harus diwaspadai karena mereka bukanlah wartawan yang sebenarnya. Mereka sering minta uang (bahkan berani memeras) nara sumber. Tapi di lain pihak, inilah repotnya, juga ada nara sumber yang memberi “amplop” kepada wartawan – karena diminta, karena ingin agar namanya jangan dicemarkan, atau karena terbiasa menyogok dalam bisnis. Seharusnya wartawan (yang profesional dan memiliki integritas) merasa tersinggung manakala disodori “amplop”.

Bagaimana menghadapi wartawan sejenis itu? Gampang. Tolak, atau lebih tegas lagi: laporkan kepada polisi sebagai kasus pemerasan. Kalau memang Anda bersih, tidak punya aib yang merugikan publik, seharusnya tidak khawatir diancam akan dicemarkan oleh “wartawan gadungan” di yellow paper (“pers kuning”) atau pers yang sensasional.

Terakhir, jika ada yang bertanya, bagaimana mengukur impact sebuah berita, tentu saja hal itu bukan lagi garapan wartawan atau redaktur sebagai praktisi, melainkan lahan bagi pakar ilmu komunisi (yang pasti bukan petugas humas, public relations) yang bisa berbicara mengenai “realitas media” dan “realitas sosial” dan kaitannya dengan kecenderungan framing di kalangan media.

*) Bahan diskusi dalam media training di Perum Peruri,  Jakarta, 1 Maret 2007, diedit kembali pada 18 Januari 2008.

Kebebasan pers

(bahasa Inggris: freedom of the press) adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan penerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 didalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Tanggung jawab social pers

Dr. Erman Anom, MM.
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Esa Unggul, Jakarta

Keadan pers di suatu negara, masing-masing dalam posisi, fungsi serta struktur yang saling berbeda. Tetapi dalam prakteknya selalu dijumpai ada hubungan antara pers, pemerintah dan masyarakat. Pada dasarnya tiap negara memiliki sistem pers sendiri-sendiri. Sistem itu selaras dengan falsafah atau ideologi yang dianut oleh sesuatu bangsa.  Pers pada tiap-tiap negara berbeda-beda satu dengan yang lain. Perbedaan yang paling kelihatan dapat ditemui pada negara-negara berkem-bang. Hal ini terjadi karena sistem politik dan pemerintahan yang ber-beda-beda, seperti dari sistem peme-rintahan demokrasi, komunis, diktator, sosialis, dan sebagainya. Sistem demo-krasi sendiri juga ada yang berbeda-beda, mengikut model tertentu.

Untuk Indonesia, sistem pers walau apapun label yang digunakan tidak boleh lepas dari perlembagaan negara, dan sistem pemerintahan nega-ra yang dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Untuk Indonesia konsep pers bebas dan bertanggung jawab dalam batasan interaksi positif antara pers, masya-rakat, dan pemerintah digunakan dalam pengembangan kehidupan sis-tem pers. Pers mempunyai peranan yang efektif dalam menjembatani komunikasi di masyarakat, termasuk antara masyarakat dengan pemerintah. Pers harus menjadi rekan kerja pemerintah dan masyarakat. Pemerin-tah harus memberikan kebebasan dan tanggung jawab pada pers untuk menyiarkan berita yang layak untuk disiarkan asal tetap menjaga kepen-tingan bangsa yang utama.

Kebebasan pers merupakan subsistem dari sistem kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (UUD1945 pasal 28).
Pelaksanaan kebebasan pers yang dilaksanakan harus mempunyai landasan hukum yang kuat. Kebebasan pers harus fokus pada permasalahan keseimbangan antara kebebasan dengan tanggung jawabnya. Karena seperti semboyan dalam hukum komunikasi massa yang dapat diang-gap baku dan universal, yang mengatakan bahwa kebebasan harus dibarengi dengan kewajiban-kewa-jiban, maka kebebasan pers bukanlah kebebasan mutlak yang tanpa batasan. Ada rambu-rambu sebagai koridor kebebasan pers yang harus dipatuhi, agar kebebasan itu tidak menjadi liar, atau malah merusak. Tetapi semboyan kebebasan pers atau kemerdekaan pers tersebut dalam implementasinya sering tidak mudah terwujudkan.
Kebebasan pers, secara nor-matif tidak saja dibatasi oleh kaidah atau norma hukum dibidang media massa, tetapi juga dibatasi oleh etika, norma agama, sosial budaya lainnya yang hidup dan terpelihara dalam kehidupan masyarakat. Demikian juga dalam pelaksanaan kebebasan pers, batas-batas kebebasan itu tidak hanya yang tercantum dalam undang-undang pers dan undang-undang positif lainnya, tetapi juga etika jurnalistik, dan norma-norma sosial budaya lainnya.
Pembatasan kebebasan pers harus dirumuskan dalam undang-undang pokok pers, karana kemer-dekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etika jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.
Dewasa ini sangat dirasakan pelaksanaan pers dihadapkan pada permasalahan yaitu kebebasan pers dilapangan masih menghadapi ham-batan dan tantangan, keluhan ini muncul terutama dari kalangan komu-nitas media massa. Tetapi disisi lain masyarakat mengeluhkan bahwa pelaksanaan kebebasan pers, sudah melewati batas dan tidak proporsional lagi, sehingga lebih banyak membawa dampak ketidak harmonisan dalam masyarakat. Antara pelaku media massa dan masyarakat terjadi ketidak harmonisan. Contohnya sering terjadi masyarakat tidak terima pemberitaan pers sehingga masyarakat memukul wartawan dan melempari kantor pers dan kasus Front Pembela Islam menduduki kantor majalah Playboy Indonesia. Untuk itu dalam pasal-pasal undang-undang pokok pers harus ada perubahan dan perbaikan dalam rangka memenuhi dan mewujudkan rasa keadilan.

Dalam Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 merumuskan “kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakkan kebenaran dan keadilan, dan bukanlah kebebasan dalam pengertian liberalisme” dan Ketatapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dirumuskan lebih jelas yakni: “Pers yang sehat, iaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab”. Pemerintah Soeharto mempunyai pandangan bahwa Pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab iaitu pers yang dapat menjalankan peranannya yang ideal.
Kalangan pers sendiri mem-berikan penjabaran tentang pers yang sehat sebagai berikut: “Pers yang sehat secara ideal adalah pers yang melak-sanakan fungsi-fungsi ideal yang tertuang dalam GBHN, secara bebas dan bertanggung jawab. Hal ini hanya dapat dilaksanakannya dengan baik, apabila pers itu sehat secara keben-daan, sehat secara ekonomis. Jika secara ekonomis, materiil pers tidak sehat, maka terlihat kecenderungan pada sementara pers mempertahankan survivalnya dengan mendasarkan orientasi perjuangannya kepada tuntutan yang bersifat kebendaan, dengan kata lain terlihat keadaan yang cenderung mengembangkan erosi idealisme perjuangan pers yang haki-katnya harus diabdikan kepada tujuan-tujuan memasyarakatkan cita-cita nasional, iaitu masyarakat kebangsaan maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila” (Hasil rumusan Penataran P-4 Pemimpin Editor-PWI, 1979).
Sumber hukum Kebebasan Pers yang Bertanggung jawab ini adalah pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahawa “Kemerdekaan mengeluarkan penda-pat melalui lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Sumber hukum kebasan dan bertanggung jawab dapat dilihat juga dalam Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 dan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973.
Tolak ukur bagi undang-undang atau peraturan-perundangan yang mengatur tentang kemerdekaan ataupun kebebasan memberikan pendapat melalui tulisan dengan kata lain kebebasan pers, sebagai pelak-sanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, dengan sendirinya adalah dasar Pasal 28 Undang-undang Dasar itu sendiri, yang tercantum dalam pembukaan  Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi seperti berikut:
“Kemudian daripada itu untuk mem-bentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mema-jukan kesejahteraan umum, mencer-daskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berke-daulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusian yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permesyuaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Berpegang kepada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai tolak ukur “kebebasan pers”, keten-tuan Undang-Undang Pokok Pers tentang kebebasan Pers ditelaah. Rumusan kebebasan pers terkandung dalam pasal 2 ayat 2 c dan pasal 5 Undang-undang Pokok Pers yang menunjuk pada Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 pasal 2 ayat 1 dan ayat 2. pasal 2 ayat 2 c Undang-Undang Pokok Pers No.11/1966: memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas asas kebebasan Pers yang bertanggung jawab. Pasal 5 Undang-undang Pokok Pers No.11/1966:

  1. Kebebasan Pers sesuai dengan   hak asasi warga negara dijamin.
  2. Kebebasan Pers ini berdasarkan atas tanggung jawab nasional dan pelaksanaan pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang Pokok Pers No.11/1966.

Kebebasan pers itu berasaskan pada tugas, kewajiban dan fungsi pers sesuai pasal 2 Undang-Undang Pokok Pers serta hak pers sesuai pasal 3 Undang-Undang Pokok Pers No.11/1966.
Dalam penjelasan Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut dikatakan bahawa “Dalam melaksanakan fungsi, kewa-jiban dan haknya Pers Nasional terikat oleh pertanggungjawaban yang diten-tukan dalam Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 pasal 2 ayat 1 dan ayat 2, yang isinya adalah sebagai berikut:
ayat 1: Kebebasan pers berhubungan erat dengan keperluan adanya  per-tanggung jawaban kepada :
a.    Tuhan Yang Maha Esa
b.    Kepentingan rakyat dan    keselamatan Negara
c.    Kelangsungan dan penyelesaian     Perjuangan Nasional hingga     terwujudnya tujuan nasional
d.     Moral dan tata susila
e.     Kepribadian bangsa”.
ayat 2: Kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan serta  menegakkan kebenaran dan keadilan, dan bukanlah kebebasan dalam pengertian liberalisme.
Pers yang bebas dan ber-tanggung jawab harus diucapkan dalam satu nafas. Walaupun begitu, dengan semangat menyebut pers bebas dan bertanggung jawab dalam satu nafas, perlu juga disatukan pengertian tentang kriteria tersebut. Bahwa pasal 2 TAP MPRS No. XXXII/MPRS/1966, dapat digunakan sebagai dasar kriteria tersebut.
Keadaan menunjukkan penter-jemah pengertian kebebasan yang hakikatnya adalah kebebasan yang bertanggung jawab masih belum terlihat keserasian dan keseim-bangannya. Sementara itu norma-norma, hak dan kewajiban pers seperti yang terkandung di dalam ketentuan-ketentuan undang-undang yang mengikat serta di dalam kode etika jurnalistik wartawan Indonesia, masih pula serba mengambang dan tidak seimbang. Tegasnya persepsi pemerin-tah, masyarakat dan pers sendiri terhadap norma-norma, hak dan kewajiban pers belumlah serasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



Tinggalkan komentar

et cetera